
Oleh: Ahmat Fadholi S Sos
MEDIA Tempo online pernah memuat berita oknum anggota Komisi Pemilian Umum (KPU) Pangkep inisal M divonis 1 tahun penjara karena mengkonsumsi narkoba jenis sabu-sabu  Kamis, (28/4/2011). Media online Bisnis.com Jabar juga memuat berita oknum KPU inisial H  digerebek reskoba Bandung karena mengonsumsi narkoba.
Ada lagi media Metrosiantar.com memuat berita oknum PNS KPU bertugas di sekretariat KPU Labuhan Batu dengan inisial (AD) digelandang aparat berwenang karena kedapatan mengonsumsi barang haram ini (19/3/2014). Masih ada lagi Indopos berita tentang anggota panwaslu Kecamatan Pinang diamankan anggota Polres Metro Tangerang karena kedapatan pesta narkoba bersama teman-temannya (9/6/2014).
DKPP juga pernah mengeluarkan putusan memecat Ketua Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh Timur, Ismail SAg karena terbukti membawa narkotika jenis sabu. Ismail sebelumnya dicokok polisi di dalam mobil, Jalan Imam Gg Tebu Keluarahan Tanjung Gusta, Medan pada Kamis, 4 Desember 2014.
Data itu merupakan sederet kasus tindak pidana penyalahgunaan narkoba yang dilakukan oknum penyelenggara pemilu, baik KPU maupun Bawaslu. Sebenarnya masih banyak lagi kasus serupa yang juga terjadi di beberapa daerah di Indonesia yang tidak dapat penulis paparkan satu per satu pemberitaannya.
Bagi masyarakat umum, melihat atau membaca berita seperti ini sudah hal yang biasa. Tetapi akan menjadi luar biasa jika kejadian seperti ini terungkap atau ditemukan saat proses pesta demokrasi berlangsung. Karena sebagai penyelenggara, panitia pilkada dituntut professional dalam bertugas agar hasil akhir pilkada yang mereka putuskan mempunyai kepastian hukum.
Tidak ingin mengandai-andai kejadian serupa terjadi saat momen Pilkada serentak pada  9 Desember mendatang. Namun, jika melihat angka prevalensi penyalahguna narkoba di Indonesia mencapai 4,2 persen (Data BNN RI dan Puslitkes UI 2014) ini, kita perlu khawatir kejadian serupa dapat dimungkinkan  menimpa   panitia penyelenggara pilkada di daerah-daerah pemilihan di seluruh pelosok Indonesia.
Kekhawatiran ini tidaklah berlebihan, jika dikaitkan dengan hukum penawaran sindikat peredaran gelap narkoba di Indonesia. Dalam ketersediaan barang/supply Indonesia utamanya Kota besar seperti DKI Jakarta, Surabaya, Semarang, Medan, Makasar atau Kalimantan Timur masih menjadi tujuan pasar oleh para Bandar internasioanal.
Mengingat secara geografis letak Indonesia berbatasan langsung dengan Negara tetangga Malaysia. Sehingga banyak penyelundup narkoba yang melalui jalur laut memasukkan barang haram ini dengan jumlah yang terbilang fantastis. Hasil ungkap kasus penyelundupan narkoba oleh BNN yang konon di klaim terbesar se-Asia Tenggara mencapai 865 kilo.
Bahkan pengakuan Bandar saat diwawancarai di salah satu stasiun televisi nasional mengungkapkan mereka tidak lagi mengirim barang dari luar Indonesia, tetapi sudah menyiapkan beberapa pabrik pembuatan narkoba di Indonesia. Dan bahkan menurut pengakuannya, mereka melengkapi peralatan canggih untuk komunikasi antar Bandar agar tidak dideteksi oleh aparat penegak hukum di Indonesia.
Kemungkinan lain, yang juga patut kita khawatir adalah, kaitannya dengan beban berat pekerjaan yang diemban oleh personil panitia pilkada dan Bawaslu. Mereka harus bekerja ekstra untuk menyelesaikan tahapan demi tahapan pemilu. Maka tak jarang mereka harus lembur dengan tekanan kerja yang tentu sangat menguras tenaga. Jika iman para panitia penyelenggara pilkada ini lemah, bisa dimungkinkan, dapat menjadi peluang para pengedar untuk menawari barang haram ini. Sugesti yang disampaikan biasanya membujuknya mampu meningkatkan produktifitas kerja dan menambah energi. Meskipun pada kenyataanya yang disampaikan para pengedar itu hanya palsu belaka.
Padahal, menurut  Ketua Dewan  Sertifikasi konselor Adiksi Indonesia dr Benny Ardjil Sp.KJ bahwa efek narkoba sangat mengganggu sistem kerja otak atau susunan sistem saraf pusat. Sehingga dimungkinkan tindakan sikap maupun cara berpikir para penyalahguna ini, akan melanggar kaidah-kaidah sosial yang berlaku di masyarakat. Kemudian yang menjadi pertanyaan, bagaimana  jadinya, jika oknum panitia pilkada dan pengawas pilkada terkontaminasi narkoba ? validkah putusan yang dihasilkan ?
Bagaimana legitimasi terhadap hasil akhir proses pemilukada tersebut ?. Bahkan yang lebih parah lagi, jika ada kejadian komisioner KPU atau Bawaslu ketika menjelang penetapan pemenag Pilkada mereka tertangkap tangan sedang mengkonsumsi narkoba. Kemudian, bagaimanakah nasib pemenang Pilkada ini ?. Meski ada solusi hukumnya, namun pasti akan menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat.
Tentu kejadian seperti tidak ingin terjadi. Namun alangkah baiknya jika pihak-pihak yang mempunyai kewenangan harus mengambil langkah untuk pencegahan. Salah satu solusinya adalah sesuai dengan arahan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP)  untuk melakukan tes urine bagi setiap anggota maupun komisioner penyelenggara pilkada  seperti Bawaslu maupun KPU mulai pusat sampai tingkatan Provinsi/Kabupaten/Kota
Tes ini dilakukan untuk memastikan panitia  penyelenggara Pilkada bebas dari obat-obatan terlarang. Tes Urine ini juga tidak cukup pada tataran sewaktu mengikuti seleksi awal masuk menjadi anggota KPU maupun Bawaslu saja, tetapi mereka juga harus di tes lagi saat menjelang pesta demokrasi berlangsung. Tentunya perlu dicari formulasi bagaimana mekanisme untuk tes urine agar tidak mengganggu proses tahapan Pilkada.
Hal ini juga sesuai, dengan amanat UU N0 8 tahun 2015 Tentang Perubahan Atas UU NO 1 Tahun 2015 tentang penetapan PERPU No 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi UU. Di pasal 9 huruf f jo Pasal 10 huruf .d UU ini, KPU mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diberikan oleh perundang undangan. Â Dalam hal ini dapat dimaknai, KPU selayaknya bersinergi dengan program Badan Narkotika Nasional (BNN) untuk melaksanakan UU N0 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika untuk memfasilitasi pelaksanaan screening tes narkoba terhadap panitia penyelenggara Pilkada maupun panitia pengawas pilkada baik saat seleksi awal rekruitmen maupun jelang pemilihan.
Sedangkan BNN sendiri, selaku lembaga non Kementerian yang menjadi leading sector penanganan masalah narkoba telah mengeluarkan surat himbauan dengan nomor B/HB-002/X/2015/HUMAS. Himbauan ini bertujuan untuk menjaga Pilkada serentak 9 Desember nanti bebas dari peredaran gelap dan penyalahgunaan narkoba. Secara spesifik kepala BNN Komjen Budi Waseso meminta masyarakat ikut mewaspadai jaringan peredaran gelap narkoba masuk dalam lingkaran kegiatan Pilkada.
Sementara itu, di pasal 28 UU ini, juga mengatur kewenangan Bawaslu Propinsi untuk melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Hal ini dapat dimaknai Bawaslu berkewajiban  melakukan pembinaan dan mengawasi tahapan pemilihan yang dilakukan oleh panitia pengawas pilkada pada tingkatan dibawahnya. Pengawasan ini seyogyanya juga mencakup uji publik integritas petugas panitia pilkada dan panitia pengawas pilkada yang bebas narkoba. Karena itu, Bawaslu selayaknya bersinergi dengan program Badan Narkotika Nasional (BNN) untuk melaksanakan UU N0 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika guna memfasilitasi pelaksanaan program rehabilitasi jika menemukan panitia Pilkada menyalahgunakan barang haram ini untuk dipulihkan dari  ketergantungan.
Selanjutnya, jika langkah pencegahan ini sudah dilakukan oleh mereka yang mempunyai tugas dan kewenangan ini. Kita sebagai masyarakat sebaiknya berperan serta menciptakan suasana kondusif saat Pilkada. Selain itu juga turut mengawasi proses pilkada agar berjalan  jujur, adil dan terbebas dari efek penyalahgunaan narkoba. Hal ini untuk menghindari timbulnya sengketa pemilihan dan tindak pidana Pilkada. Kita semua berharap 9 Desember mendatang, dapat menghasilkan pemimpin yang diharapkan dan mampu memahami kebutuhan riil masyarakat.
Penulis :
Humas BNN Kota Samarinda
Email : fafa_jt@yahoo.co.id
HP : 082335827228